Entah sejak kapan tepatnya saya jadi (lebih) sering ditemani secangkir white coffee dikala ngobrol sendiri.

9 Apr 2018

Cerpen 2-1

#Saski Sahira

Latihan fisik sore tadi. Dimulai dengan melompati pagar setinggi pinggang, berlari mengejar bayangan dirimu angkot sambil menggendong ransel yang beratnya seperti menanggung rindu, kecipratan genangan air hujan dan berakhir misuh-misuh saat angkot yang ku kejar tidak berhenti.

Aku akhirnya sampai kampus setelah ada seorang ibu yang memberikan taksinya untukku karena melihat usahaku mengejar angkot. Mungkin ibu itu iba. Mungkin juga teringat anaknya saat melihat tampang melasku.

Setengah berlari aku masuk kelas dengan keringat menetes dan napas ngos-ngosan. Aku langsung menuju sebuah kursi kosong di dekat jendela. Duduk sambil memijat kaki yang pegal dan menghapus keringat dengan saputangan. Hembusan udara sejuk dari pendingin ruangan perlahan membuat emosi mereda. Dan keringatku menguap perlahan seiring satu persatu mahasiswa lain masuk ruang kelas.

Ini adalah hari pertama perkuliahan. Tidak ada satupun yang kukenal. Bersamaan dengan aku meletakkan pantatku di kursi, seorang pria masuk membawa notebook dan selembar kertas yang diselipkan diantara lipatan layar dan keyboard. Pria itu kira-kira usia 40an. Dia meletakkan notebook di meja, meraih spidol dan menuliskan deretan kata di whiteboard .
Sapto Samudro
TEORI EKONOMI MIKRO 
Just in time, dia rupanya dosen yang membawakan perkuliahan sore ini. Setelah mengucap salam beliau mulai memanggil nama-nama dari selembar kertas tadi. 

"Bama Satria". 

Aku mengangkat tangan kananku. Saat akan membacakan nama ke-8, seorang perempuan mengintip dari jendela kaca di pintu, terlihat ragu, entah karena malu menyadari sudah terlambat, atau tidak yakin memasuki kelas yang benar. Terdengar ketukan di pintu dan separuh wajah dengan rambut hitam tergerai sepundak menyembul di pintu kelas yang separuh terbuka. 


"Masuk" Pak Sapto mempersilahkan. Perempuan itu masuk. Telunjuk dosen itu mengarah kepapan tulis. Perempuan itu mengangguk dan berjalan menuju salah satu kursi dideretan kedua. Dideretan kursi yang kududuki. 

"Saski Sahirra" 
Pak Sapto melanjutkan membaca nama-nama dari kertas putih. Perempuan yang baru saja datang tadi mengangkat tangannya. Aku melirik kearahnya, terpisah dua kursi dari tempatku duduk. "Cantik". Batinku. Tanpa riasan mencolok. Hanya pulasan tipis dibibir dan tulang pipinya yang memberi warna di wajahnya yang putih, satu-satunya perhiasan yang terlihat hanya sepasang anting bulat kecil. Mengingatkanku pada anting Kira keponakanku yang berusia 3 tahun.

...............................................









0

0 komentar: