Entah sejak kapan tepatnya saya jadi (lebih) sering ditemani secangkir white coffee dikala ngobrol sendiri.

9 Apr 2018

Cerpen 2-2

#Kehilangan jejak

Selepas jam kantor aku ada janji hangout dengan beberapa teman semasa S1 dulu. Sebuah coffee shop di salah satu mall yang letaknya strategis dari kantor masing-masing menjadi pilihan kami. Tidak ada jadwal reguler untuk setiap pertemuan kami. Tergantung kesibukan. Terkadang sebulan bisa tiga kali ato bahkan tidak sama sekali. Seperti sekarang, ini adalah pertemuan kami setelah hampir 3 bulan sibuk dengan jadwal masing-masing.

Aku berjalan memasuki cafe. Pandanganku menyapu sekeliling. Hampir semua meja terisi. Di salah satu sudut aku melihat Daffi, sedang berbicara dengan seseorang melalui smartphone nya. Aku langsung duduk dikursi berhadapan dengannya. Daffi memberikan isyarat dengan telunjuknya tanda meminta waktu. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan.

Kami langsung berjabat tangan dan terlibat pembicaraan 'tak penting' segera setelah Daffi mengakhiri pembicaraannya di telepon. Satu persatu kawan yang lain datang. Arka dan Cahir. Percakapan makin seru dan beragam. Sesekali keluar tawa lepas dari kami berempat. Tak terasa malam semakin larut. Kami keluar coffee shop menuju luar mall dan berpisah di pelataran parkir. Tanpa jadwal kapan akan bertemu lagi. Karena bila saatnya tiba jiwa kami akan saling memanggil. 

............................................

Aku memutari lantai 4 gedung mall untuk kedua kalinya. Sebenarnya mall ini tidak asing. Beberapa kali aku kesini dengan Kira, Tapi entah kenapa counter jam yang ku cari belum ketemu juga. Saat akan menyisir lantai untuk yang ketiga kalinya mataku menangkap sosok perempuan berkulit putih dengan rambut hitam tergerai sebahu duduk disebuah coffee shop. Betul, perempuan beranting bulat seperti milik Kira yang kulihat kemarin lusa di kelas.

Aku mundur sedikit berlindung di sebuah pilar besar. Melihat ke dalam coffee shop untuk memastikan apakah betul itu Saski Sahira. Seperti ditarik sebuah magnet aku dipaksa untuk melihat dan memastikan. 

Aku lupa akan tujuanku. Perempuan itu begitu menarik perhatian, duduk seorang diri dengan sebuah buku ditangan. Di depannya segelas minuman entah frappucino ato coffee latte, masih penuh belum tersentuh. Selama 5 menit posisinya tetap sama, sibuk dengan bacaannya. Tidak sekalipun melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, tidak juga melihat smartphone yang tergeletak di atas mejaKesimpulanku dia sedang tidak menunggu seseorang.

.......................................

Aku masih melihatnya dari kejauhan. Ada gerakan, dia menutup bacaannya menaruhnya di meja lalu mengangkat gelas minuman dan meminumnya. Semua dilakukan dengan gerakan yang efisien dan rapi. Sangat tenang. Aku tersihir oleh tiap gerak tubuhnya.

Tiba-tiba ada yang memukul pantatku, aku spontan menoleh dan melihat seorang ibu muda tergopoh mendekat dan meminta maaf, rupanya seorang balita yang berlari-lari sambil mengayunkan bonekanya. Aku tersenyum melihat kelakuan balita itu. Rupanya dia baru bisa berjalan.

Saat keluarga kecil itu berlalu, aku melihat jam tangan. Pukul 5.20 sore. Saat aku melihat lagi ke dalam coffee shop perempuan itu sudah tidak ada. Pandanganku menyapu setiap sudut ruang coffee shopShe is not there anymore. Di meja kasir juga tidak ada. Aku kehilangan jejak.

....................................











0

Cerpen 2-1

#Saski Sahira

Latihan fisik sore tadi. Dimulai dengan melompati pagar setinggi pinggang, berlari mengejar bayangan dirimu angkot sambil menggendong ransel yang beratnya seperti menanggung rindu, kecipratan genangan air hujan dan berakhir misuh-misuh saat angkot yang ku kejar tidak berhenti.

Aku akhirnya sampai kampus setelah ada seorang ibu yang memberikan taksinya untukku karena melihat usahaku mengejar angkot. Mungkin ibu itu iba. Mungkin juga teringat anaknya saat melihat tampang melasku.

Setengah berlari aku masuk kelas dengan keringat menetes dan napas ngos-ngosan. Aku langsung menuju sebuah kursi kosong di dekat jendela. Duduk sambil memijat kaki yang pegal dan menghapus keringat dengan saputangan. Hembusan udara sejuk dari pendingin ruangan perlahan membuat emosi mereda. Dan keringatku menguap perlahan seiring satu persatu mahasiswa lain masuk ruang kelas.

Ini adalah hari pertama perkuliahan. Tidak ada satupun yang kukenal. Bersamaan dengan aku meletakkan pantatku di kursi, seorang pria masuk membawa notebook dan selembar kertas yang diselipkan diantara lipatan layar dan keyboard. Pria itu kira-kira usia 40an. Dia meletakkan notebook di meja, meraih spidol dan menuliskan deretan kata di whiteboard .
Sapto Samudro
TEORI EKONOMI MIKRO 
Just in time, dia rupanya dosen yang membawakan perkuliahan sore ini. Setelah mengucap salam beliau mulai memanggil nama-nama dari selembar kertas tadi. 

"Bama Satria". 

Aku mengangkat tangan kananku. Saat akan membacakan nama ke-8, seorang perempuan mengintip dari jendela kaca di pintu, terlihat ragu, entah karena malu menyadari sudah terlambat, atau tidak yakin memasuki kelas yang benar. Terdengar ketukan di pintu dan separuh wajah dengan rambut hitam tergerai sepundak menyembul di pintu kelas yang separuh terbuka. 


"Masuk" Pak Sapto mempersilahkan. Perempuan itu masuk. Telunjuk dosen itu mengarah kepapan tulis. Perempuan itu mengangguk dan berjalan menuju salah satu kursi dideretan kedua. Dideretan kursi yang kududuki. 

"Saski Sahirra" 
Pak Sapto melanjutkan membaca nama-nama dari kertas putih. Perempuan yang baru saja datang tadi mengangkat tangannya. Aku melirik kearahnya, terpisah dua kursi dari tempatku duduk. "Cantik". Batinku. Tanpa riasan mencolok. Hanya pulasan tipis dibibir dan tulang pipinya yang memberi warna di wajahnya yang putih, satu-satunya perhiasan yang terlihat hanya sepasang anting bulat kecil. Mengingatkanku pada anting Kira keponakanku yang berusia 3 tahun.

...............................................









0

Cerpen 1

#Gara-gara Ibu

Kami berempat sepakat bertemu di kedai es krim dekat bioskop. Tika, Brenda, Dinda dan juga aku. 
Tika, mahasiswa semester 6 yang sedang menyusun skripsi dan berencana lulus di semester 7. Cantiknya sebelas-duabelas dengan Gita Gutawa, Otaknya brilian dan sekarang sedang magang di salah satu kantor akuntan publik bergengsi di kota kami. Orang-orang pada jiper sama dia. Termasuk cowok-cowok.
Brenda, cewek peruntuh hati lelaki. Udah ga kehitung cowok yang layu sebelum berkembang sama dia. Dan selalu bikin cewek lain merasa terintimidasi dengan kecantikannya. Soalnya lagi pas jelek aja dia cantik. Gimana klo pas cantik. Ngeri kan?! Padahal dianya santai -ya iyalah santai, kan udah cantik-. Nah, Kalo kecantikan Tika itu produk kearifan lokal, lain Brenda, dia bule banget, kaya bokapnya. Ga jauh-jauh dengan Kimberly Ryder.
Dinda, sepupu aku yang ceria tiada tara, punya body paling atletis diantara kita berempat. Dinda jago berenang. Badannya ga bisa gemuk. Biar habis makan bubur menado setengah panci, tetep aja langsing. Cantik? Pastilah. Dia menerapkan fit and proper test yang anti mainstream ke setiap cowok yang nembak dia. Adu renang. Klo kalah jangan harap Dinda mau di pacarin.
Aku paling kalem -kalo pas ngantuk- (ngerasa) bersuara merdu tapi ga pede nyanyi didepan orang. Belum pernah pacaran. Bukan karena aku jelek loh. Dian sasto sih lewat -ga tau lewat mana xixixi-. Tapi lebih karena, aku berpendapat pacaran itu menghalangi tumbuh kembang kepribadian dan potensi diri. Kalo kata Dinda ga laku tapi belagu. Sadeees.
"Girls kita mau nonton apa nih" Tika membuka suara. Tika serius membaca surat kabar yang dibawanya dari rumah untuk melihat jadwal. "Tsaellaah hari gini masih bawa koran". Dinda mencibir. "nenek gue udah pake smartphone loh Tik". Tambah Dinda lagi. "Bodo". Balas Tika tanpa melihat ke arah Dinda. Aku tersenyum lihat tingkah mereka.
"Pengabdi Setan aja Tik, Brenda yang sedari tadi diam, memberi usul. "Ogaaah, serem tauk". Tika dan Dinda berteriak senada dan seirama. "Gimana Mik, seru kan klo kita nonton si Ibu". Brenda mencari dukungan. "Heemmm, gimana suara terbanyak aja deh". Jawabku sambil tertawa melihat Tika dan Dinda berpelukan ngeri. "Aah elu Mik, apa elu selalu se-wise ini sih". Tika dan Brenda protes.
Akhirnya dengan suara bulat -yang dipaksakan-. Brenda membeli 4 tiket 'Pengabdi Setan', Dia sengaja pilih seat di barisan atas dan paling pojok supaya memberikan efek horror maksimal, sekaligus ngerjain Tika dan Dinda. Benar saja mereka auto histeris begitu tahu seat pilihan Brenda.
Sepanjang pemutaran film teriakan ngeri terdengar dari segala penjuru bersahutan bagai paduan suara. Bedanya, ini jauh dari merdu. Terkadang ada juga barisan penonton lain yang iseng teriak duluan padahal adegan belum serem. Ditambah backsound dari filmnya yang bisa bikin orang ga mau main basket sendirian -yaiyalah kan minimal bertiga-. Pas tetiba serem beneran, Tika dan Dinda sampe lompat dari seat karena kaget ga ketulungan. Dan Brenda yang paling maksa untuk nonton, sepanjang film diputar nempel aku tanpa jarak.
Selama seminggu setelah nonton 'Ibu', kami berempat masih tetep kebayang-bayang sosok ibu yang identik dengan bunyi lonceng itu. Asli syerem. Dinda dan Tika juga masih mengutuk Brenda karena maksa nonton film itu. Akupun aslinya ngeri, berasa ada yang ngikuti terus. Paling parno kalo pas kekamar mandi. Jadi pengen ditemenin nicholas saputra #eh.
Pernah suatu hari pas Dinda pulang kuliah jam malem. Dia minta di jemput lantaran takut pulang sendiri, "ntar klo 'Ibu' ngikut di jok belakang gimana dong Mik, please jemput gue Mik" Dinda nangis kejer di telepon. Akhirnya aku dan Dito -adek aku- berangkat jemput ke kampus Dinda. Pulangnya Dinda semobil sama aku, sedangkan mobil Dinda dibawa Dito. Repot. Dito yang baru aku ceritain situasinya setelah nganter Dinda pulang langsung misuh-misuh.

Lain Dinda, lain Tika. Dia malah minta di temenin tidur sama pembantunya. Rasanya 'Ibu' ngintip dari jendela kamar. Alasannya gitu. Trus gimana Brenda? setali tiga uang sama yang lain. Dia rela tidur dengan kamar terang benderang demi tidak dibayangi 'Ibu'. Sok iye sih.

................................



0

7 Apr 2018

February

Welcome Feb


Udah Februari aja nih, bulan kedua, bulan kasih sayang. Bulan apalah. What ever you name it. Buat saya Februari tahun ini adalah bulan galau. Galau tingkat tinggi. Galau itu ga asyik. Bikin kita badmood. Dan efeknya jadi kemana-mana. Everything's gone wrong. I am not sure an ice cream and chocolate can help me this time. Maybe meditation can do.





--Ta--

0