Entah sejak kapan tepatnya saya jadi (lebih) sering ditemani secangkir white coffee dikala ngobrol sendiri.

9 Apr 2018

Cerpen 1

#Gara-gara Ibu

Kami berempat sepakat bertemu di kedai es krim dekat bioskop. Tika, Brenda, Dinda dan juga aku. 
Tika, mahasiswa semester 6 yang sedang menyusun skripsi dan berencana lulus di semester 7. Cantiknya sebelas-duabelas dengan Gita Gutawa, Otaknya brilian dan sekarang sedang magang di salah satu kantor akuntan publik bergengsi di kota kami. Orang-orang pada jiper sama dia. Termasuk cowok-cowok.
Brenda, cewek peruntuh hati lelaki. Udah ga kehitung cowok yang layu sebelum berkembang sama dia. Dan selalu bikin cewek lain merasa terintimidasi dengan kecantikannya. Soalnya lagi pas jelek aja dia cantik. Gimana klo pas cantik. Ngeri kan?! Padahal dianya santai -ya iyalah santai, kan udah cantik-. Nah, Kalo kecantikan Tika itu produk kearifan lokal, lain Brenda, dia bule banget, kaya bokapnya. Ga jauh-jauh dengan Kimberly Ryder.
Dinda, sepupu aku yang ceria tiada tara, punya body paling atletis diantara kita berempat. Dinda jago berenang. Badannya ga bisa gemuk. Biar habis makan bubur menado setengah panci, tetep aja langsing. Cantik? Pastilah. Dia menerapkan fit and proper test yang anti mainstream ke setiap cowok yang nembak dia. Adu renang. Klo kalah jangan harap Dinda mau di pacarin.
Aku paling kalem -kalo pas ngantuk- (ngerasa) bersuara merdu tapi ga pede nyanyi didepan orang. Belum pernah pacaran. Bukan karena aku jelek loh. Dian sasto sih lewat -ga tau lewat mana xixixi-. Tapi lebih karena, aku berpendapat pacaran itu menghalangi tumbuh kembang kepribadian dan potensi diri. Kalo kata Dinda ga laku tapi belagu. Sadeees.
"Girls kita mau nonton apa nih" Tika membuka suara. Tika serius membaca surat kabar yang dibawanya dari rumah untuk melihat jadwal. "Tsaellaah hari gini masih bawa koran". Dinda mencibir. "nenek gue udah pake smartphone loh Tik". Tambah Dinda lagi. "Bodo". Balas Tika tanpa melihat ke arah Dinda. Aku tersenyum lihat tingkah mereka.
"Pengabdi Setan aja Tik, Brenda yang sedari tadi diam, memberi usul. "Ogaaah, serem tauk". Tika dan Dinda berteriak senada dan seirama. "Gimana Mik, seru kan klo kita nonton si Ibu". Brenda mencari dukungan. "Heemmm, gimana suara terbanyak aja deh". Jawabku sambil tertawa melihat Tika dan Dinda berpelukan ngeri. "Aah elu Mik, apa elu selalu se-wise ini sih". Tika dan Brenda protes.
Akhirnya dengan suara bulat -yang dipaksakan-. Brenda membeli 4 tiket 'Pengabdi Setan', Dia sengaja pilih seat di barisan atas dan paling pojok supaya memberikan efek horror maksimal, sekaligus ngerjain Tika dan Dinda. Benar saja mereka auto histeris begitu tahu seat pilihan Brenda.
Sepanjang pemutaran film teriakan ngeri terdengar dari segala penjuru bersahutan bagai paduan suara. Bedanya, ini jauh dari merdu. Terkadang ada juga barisan penonton lain yang iseng teriak duluan padahal adegan belum serem. Ditambah backsound dari filmnya yang bisa bikin orang ga mau main basket sendirian -yaiyalah kan minimal bertiga-. Pas tetiba serem beneran, Tika dan Dinda sampe lompat dari seat karena kaget ga ketulungan. Dan Brenda yang paling maksa untuk nonton, sepanjang film diputar nempel aku tanpa jarak.
Selama seminggu setelah nonton 'Ibu', kami berempat masih tetep kebayang-bayang sosok ibu yang identik dengan bunyi lonceng itu. Asli syerem. Dinda dan Tika juga masih mengutuk Brenda karena maksa nonton film itu. Akupun aslinya ngeri, berasa ada yang ngikuti terus. Paling parno kalo pas kekamar mandi. Jadi pengen ditemenin nicholas saputra #eh.
Pernah suatu hari pas Dinda pulang kuliah jam malem. Dia minta di jemput lantaran takut pulang sendiri, "ntar klo 'Ibu' ngikut di jok belakang gimana dong Mik, please jemput gue Mik" Dinda nangis kejer di telepon. Akhirnya aku dan Dito -adek aku- berangkat jemput ke kampus Dinda. Pulangnya Dinda semobil sama aku, sedangkan mobil Dinda dibawa Dito. Repot. Dito yang baru aku ceritain situasinya setelah nganter Dinda pulang langsung misuh-misuh.

Lain Dinda, lain Tika. Dia malah minta di temenin tidur sama pembantunya. Rasanya 'Ibu' ngintip dari jendela kamar. Alasannya gitu. Trus gimana Brenda? setali tiga uang sama yang lain. Dia rela tidur dengan kamar terang benderang demi tidak dibayangi 'Ibu'. Sok iye sih.

................................



0

0 komentar: