Entah sejak kapan tepatnya saya jadi (lebih) sering ditemani secangkir white coffee dikala ngobrol sendiri.

1 Sep 2015

Person With No Identity

Banyak hal yang berhubungan dengan birokrasi pemerintah membuat saya malas. Ini kejadian saat membuat KTP.

Dua minggu lalu saya mengajukan permohonan KTP baru. Karena yang lama sudah habis masa berlakunya. 

Saya melalui prosedur lapor ke RT, RW, Kelurahan. Semua bisa saya selesaikan dengan sekali jalan dalam sehari. 

Selanjutnya adalah di kecamatan. Saya sampai kecamatan sudah agak siang, sekitar jam 10.00 WIB.

Saat sampai kemudian saya bertanya kepada salah satu petugas mengenai keperluan saya. Petugas tersebut menunjuk sebuah ruang dengan pintu kaca berwarna gelap. 

Saya memasuki ruang tersebut dengan melalui pintu yang ditunjuk petugas tadi. Sepintas saya membaca tulisan yang ditempel di pintu itu. Jam pelayanan : Senin-kamis pukul 07.00-14.00, Jumat : saya lupa detailnya tapi lebih kurang sama, hanya waktu istirahat lebih lama, nalar saya karena sholat Jumat. Make sense

Begitu saya masuk saya lihat ada dua line antrian yang terpampang di layar. Saya menuju sebuah box untuk mengambil nomor antrian. Bayangan saya seperti sedang mengantri di salah satu bank. Which is good. Setengah jam saya duduk. Belum tiba giliran nomor saya untuk mendapat pelayanan. 

https://sitapunyacerita.blogspot.com/2015/09/person-with-no-identity.html
source : pexel.com


Saya tunggu beberapa saat lagi. Saya putuskan pergi karena saya harus menjemput anak-anak pulang sekolah.

Keesokan harinya saya kembali mengantri. Kali ini saya datang lebih awal. Sekitar jam 8 saya sudah tiba disana. Seperti hari kemarin, saya mengambil nomor antrian. Nomor 16, kemudian melirik layar diatas konter petugas. Tertera angka 05. Okay good, I dont need to wait too long, batin saya.

Saya memilih salah satu kursi di barisan dua. Saya mengeluarkan novel romantis karya teman saya dari dalam tas.  Iya salah satu teman SD saya sekarang menjadi penulis novel disela kegiatan kantornya. Talented woman

Hampir satu jam berlalu, di layar konter menunjukkan angka 6. Whaatt, masak baru satu nomor yang dilayani semenjak saya duduk disini. Saya mulai gelisah, bete rasanya saya membayangkan pulang tanpa hasil seperti kemarin.

Saya mulai berdiri dan menuju salah satu petugas bla, bla, bla saya bertanya dan jawabannya "Ya tunggu sampai nomor antriannya dipanggil." Batin saya, what's goin' on? Apa yang mereka lakukan, satu jam hanya 1 nomor yang dilayani.

Akhirnya penantian saya berbuah hasil. Nomor saya dipanggil. Saya maju menyerahkan berkas, menunggu sesaat. Petugas keluar dengan selembar kertas berisi keterangan bahwa saya sedang proses membuat KTP. Saya terima lembar itu. Saya diminta untuk mencantumkan nomor telepon saya, dengan alasan apabila KTP sudah jadi saya akan dihubungi oleh petugas. Saya tulis deretan angka di kolom yang diminta. Saya kemudian bertanya, kapan perkiraan jadinya. "Ya tunggu di telp mbak". Petugas itu menjawab. "That's all?!!" asli saya pengen kunyah tuh kertas didepan petugasnya. 

Dua minggu berlalu, saya tetap belum dapat kabar dari petugas yang berjanji menelepon saya. Masuk minggu ketiga saya udah gatel aja. Rasanya pengen nonjok orang. 

Dan akhirnya saya mantapkan hati untuk bertanya melalu telepon ke kantor kecamatan. Terjadilah dialog yang intinya saya menanyakan apakah KTP saya sudah jadi. Dan petugas menjawab belum. 

Kembali saya tanya perkiraan kapan jadi. Petugas menjawab, "Belum tahu karena sistemnya putus tidak bisa mencetak KTP." Ditambah pula dengan kata-kata "Ini seluruh Indonesia mbak." Gilak ini deh model kek senar layangan aje nih pake alesan putus.

"Minggu depan mbaknya telp lagi aja." Ngelus dada. Kemaren janjinya saya yang mau ditelepon. Omigosh. Edan, perkara KTP udah jadi isu nasional inih. Pak Jokowi tulung dong, sampai kapan saya kesana kemari tanpa identitas diri.


-Penikmat Semesta-


Disclaimer : ini tulisan saya tahun 2015. Apa di 2020 masih begini juga? Saya harap tidak ya!

0

0 komentar: