Entah sejak kapan tepatnya saya jadi (lebih) sering ditemani secangkir white coffee dikala ngobrol sendiri.

27 Apr 2017

Ada Apa Dengan Dokter (AADD)

Hahaha judulnya Maksaaaaa...

Tiga minggu belakangan saya ngerasa ga klik sama urusan per-dokter-an. Pertama, waktu flu dan memutuskan untuk ke dokter karena bosen srat srot boros tisue. Ke dokter dengan harapan (besar) supaya sembuh. Mulai dari masuk ruang dokter ditanya ini itu, di periksa, waktu itu cuma dilihat tenggorokan, di stetoskop di bagian dada dan di ukur tekanan darah. Yes, that's all. Kadar keimanan tidak termasuk yang diukur. Kemudian dokternya tulis resep dan saya ke apotek untuk beli obat. 

Obat beres, saya pulang. Ada 4 macam pil yang diresepkan, diminum 3x1. Bayangpun saya kudu nenggak pil sehari 10 butir (ada satu resep yang hanya 1x1). Nah, sebagai pasien besar sekali harapan untuk sembuh setelah makan obat 10 butir per hari selama 4 hari. Belum lagi biaya yang saya keluarkan untuk ngusir ingus dan batuk itu lebih dari 350 ribu. Iyes tiga ratus lima puluh ribu rupiah sodara. 

Setelah tiga hari, belum ada tanda-tanda sembuh. Hari keempat dan pil-pil itu sudah habis. Do you know what happen? saya ga sembuh, batuk pilek ini terus berlanjut sampai masuk minggu ketiga. Ya Alloh, bahwasanya sakit adalah penggugur dosa. Dosa mana yang harus saya gugurkan sampai harus srat srot selama tiga minggu, kesana kemari nggembol tisue. lebih lagi setelah mengingat biaya yang saya keluarkan demi pil-pil dan kedisiplinan saya menghindari segala yang dipantangkan dokter. Pengen aja nyanyi "lumpuhkanlah ingatanku jika itu tentang dia". Pilu. Semakin merana setelah ada tetangga yang bilang "saya kemarin ke puskemas sembuh bu, dan cuma lima puluh ribu". Whaaattt!!!! Lanjut nyanyi:

"kamu pilih yang mana? klinik... klinik
"kamu suka yang mana? puskesmas... puskesmas
"kalo saya punya usul.... embok pijeet ajaaa.

Yah sudahlah nasi sudah dijemur dan jadi karak. 

Belum lagi urusan per-ingus-an beres. Pagi tadi saya baru mengunjungi dokter kulit. Sabtu kemarin setelah saya gunting rumput halaman belakang ada beberapa titik di kedua kaki saya yang gatal dan timbul seperti melepuh. Saya sudah menyangka itu karena racun binatang. Mungkin bulu ulat, gigitan serangka ato pipis kecoak. Hahaha yang terakhir ini asli jijay. 

Saya tidak terlalu kepikiran karena saya pernah mengalaminya beberapa waktu lalu setelah ber-outbound. Hanya memang kali ini area "luka" nya lebih luas. Tapi suamik suruh ke dokter kuatir ada kacang di balik peyek hal yang tidak sesederhana gigitan serangga, karena "luka"nya tampak melepuh.

Ya daripada bertanya-tanya. Ada baiknya memang di pastikan oleh seseorang yang dianggap berpengalaman dan memiliki "ilmu" untuk menjelaskan pada saya ada apa dengan kaki seksi saya ini. 😄😄

Setelah menjalani antrian demi nama saya dipanggil. Tibalah giliran saya. Begitu saya duduk di kursi "pesakitan", dalam arti sebenarnya. Dokter langsung bertanya "Keluhannya apa?" Saya berusaha menjawab sambil spontan ingin menunjukkan "noda" di kaki saya. Belumlah saya gulung celana 7/8 saya untuk menunjukkannya beliau yang terhormat ibu dokter berkata "Iya saya kan lihat nanti, sekarang keluhannya apa dulu?" dengan mimik yang saya baca jauh dari kata ramah dan melayani. Glek.

Yah anggap sajalah saat itu saya sedang sensi. Akhirnya saya jawab "gatal". Kemudian dokter menyalakan lampu dan melihat "luka" saya. Dan spontan menjawab "oh itu karena binatang". Saya lega  dan beranggapan beliau berpengalaman, karena dengan melihat "luka" nya saja tanpa saya cerita kronologisnya beliau sudah bisa mengambil kesimpulan awal.

Pertanyaan saya selanjutnya adalah "Kira-kira binatang apa ya dokter?" Dan demi arwah para pahlawan yang gugur di medan perang inilah jawaban beliau yang terhormat ibu dokter "Yah kalo tau kita gebukin bareng-bareng bu". Dan itu dijawab dengan mimik gusar seolah pertanyaan saya adalah kind of stupid question. What the ....!!! Sabar ya bu. Makin sabar makin di injek kaya raya.

Harapan saya sih, harapan saya loh.  Beliau akan bertanya lebih lanjut seperti, kegiatan apa yang saya lakukan sebelum "noda" gatal itu nangkring di kaki saya. Ato apalah gitu yang sekiranya bisa membangun komunikasi dan obrolan kami terdengar merdu.

Tapi saya tetep sabar di dalam ruangannya, dengan kesunyian yang "membunuh" menunggu beliau menulis resep dan menulis kuitansi beserta diagnosa gatal saya. 

Setelah membayar biayanya seratus limapuluh ribu dan menerima resep beserta kuitansi saya keluar ruangan dengan berkata terimakasih yang terdengar tidak dari hati. Formalitas saja. Toh sebelum keluar ruangan saya yang kasih uang bukan sebaliknya. Tuh kan saya jadi arogan. 

Perjalanan pulang saya berhenti di apotik, Setelah menerima obat dari sang apoteker dan mendengarkan penjelasan penggunaan obat yang jauh lebih bersahabat, saya sampai rumah. 

Cukuplah pengalaman saya dengan dokter yang "aneh". Doa saya, dibalik kurang ramah nya beliau semoga obatnya manjur. Aamiin. Dan mau tau brp ongkos yang saya keluarkan??? Yah asal manjur, saya oke aja dijudesin sama bu dokter. Duit segitu ntar baliknya berlipat-lipat asal ikhlas. Yekan? Yegak?. 

Semoga Kita senantiasa sehat dan kaya raya. Aamiin. 




-ta-
0

0 komentar: